08 Juli 2010

"Sex Before Marriage" Bukan Cinta Sejati

"Sex Before Marriage" Bukan Cinta Sejati

Dua sejoli itu duduk berdampingan di sebuah taman yang rindang yang penuh pepohonan. Mereka berdua sebenarnya tidak sendirian. Karena tak jauh dari tempat mereka bercengkerama, belasan pasangan laki perempuan yang lain juga duduk menyepi.
Apakah yang duduk-duduk ini pasangan suami istri? Bukan. Mereka adalah pasangan muda-mudi yang menumpahkan perasaan kasmarannya. Sayangnya, cara yang mereka tempuh adalah cara yang keliru. Pemandangan seperti itu bukan lagi hal yang asing ditemukan. Bahkan tak jarang aktivitas pacaran tersebut dilakukan di rumah Allah, yaitu di masjid. Kebanyakan muda-mudi yang belum punya status nikah tetap nekad bermaksiat di tempat mulia semacam itu.
Pacaran Sudah Jelas Jalan Menuju Zina
Wahai muda-mudi ... Jalan manakah lagi yang lebih dekat pada zina selain pacaran? Bukankah banyak kasus zina berawal dari tindak tanduk perkenalan diri lewat pacaran? Hal ini tidak bisa disangkal lagi, apalagi untuk sekarang ini. Sudah banyak berita yang kita saksikan. Hanya karena kenalan lewat media FB, hingga suka sama suka, dua sejoli dan yang satunya masih duduk di bangku kelas 2 SMP (14 tahun) akhirnya jalan berdua dengan kenalannya hingga si gadis kecil dibawa lari jauh dari ortunya. Terjadilah apa yang terjadi. Si gadis kecil pun dirayu-rayu oleh si laki-laki hingga akhirnya mau melepaskan keperawanannya hanya karena rayuan gombal.
Lihatlah adik-adikku ... Bukankah pacaran ini benar-benar jalan menuju zina? Awalnya dari kenalan. Lalu beranjak janjian kencan. Lalu dibawa ke tempat sepi. Setelah itu beranjak ke yang lebih parah. Maka terjadilah zina yang tidak disangka-sangka dari awal, hanya karena alasan true love, membuktikan cinta yang sebenarnya.
Semoga kita bisa merenungkan ayat yang mulia,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isro’: 32). Ulama terkemuka yaitu Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani rahimahullah menjelaskan, “Allah melarang mendekati zina. Oleh karenanya, sekedar mencium lawan jenis saja otomatis terlarang. Karena segala jalan menuju sesuatu yang haram, maka jalan tersebut juga menjadi haram. Itulah yang dimaksud dengan ayat ini.”[1]
Coba perhatikan penjelasan di atas wahai adikku ... Kita dapat suatu pelajaran bahwa setiap hal yang dapat mengantarkan pada yang haram atau dosa besar, maka itu semua menjadi terlarang. Ingatlah bahwa ayat di atas bukan hanya memperingatkan perbuatan zina yang merupakan dosa besar. Namun ayat yang mulia di atas juga memperingatkan segala jalan yang dapat mengantarkan pada zina. Segala jalan menuju zina saja dilarang karena kita dilarang mendekati zina, maka melakukan zina lebih-lebih terlarang lagi.
Namun banyak muda-mudi yang kami sayangkan belum memahami ayat tersebut. Allah Ta’ala sebenarnya cukup menyampaikan ayat yang ringkas saja, namun cakupannya luas untuk melarang hal-hal lainnya. Dari sini, maka aktivitas berdua-duaan antara lawan jenis itu terlarang dan aktivitas menyentuh lawan jenis juga terlarang. Apalagi dua aktivitas yang kami sebutkan ini ada larangan khususnya.
Untuk aktivitas berdua-duaan antara lawan jenis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ ، إِلاَّ مَحْرَمٍ
“Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya.”[2]Ini menunjukkan terlarangnya kholwat (berdua-duaan antara lawan jenis).
Untuk aktivitas menyentuh lawan jenis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tunjukkan larangannya dalam sabdanya,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.”[3] Artinya, menyentuh lawan jenis yang bukan mahrom termasuk keharaman karena dinamakan dengan zina yang juga haram.
Penjelasan di atas sebenarnya sudah cukup menyatakan bahwa pacaran itu terlarang. Jika ada yang masih mengatakan bahwa ada pacaran yang halal yaitu pacaran Islami, maka cukup kami jawab, “Bagaimana mau dikatakan halal sedangkan pelanggaran di atas masih ditemui? Jika kita nekad mengatakan ada pacaran Islami, maka kita juga seharusnya berani mengatakan ada zina Islami, khomr Islami, judi Islami dan sebagainya.” Hanya Allah yang beri taufik.
Lebih Parah Dari Itu
Kalau duduk merapat, berangkulan, berciuman dan sejenisnya yang dilakukan oleh laki perempuan non mahrom yang tak diikat tali pernikahan saja sudah tidak boleh dan dilarang oleh ajaran Islam, bagaimana jika lebih dari itu? Namun inilah yang disayangkan tersebar luas di kalangan muda-mudi. Mereka begitu mudahnya membuktikan cinta, namun dengan jalan yang keliru yaitu dengan “sex before marriage (SBM)”, atau istilah kerennya adalah dengan “making love”. Sekeren apapun namanya namun hakekatnya tetap sama yaitu menerjang larangan Allah dengan melakukan dosa besar zina. Inilah yang dikatakan oleh mereka-mereka sebagai pembuktian cinta. Inilah yang katanya true love, cinta sebenarnya. Bagaimana mungkin zina dinamakan true love sedangkan di sana menerjang larangan Allah yang termasuk dosa besar?
Bukankah Allah Ta’ala telah menyebutkan dalam kitabnya yang mulia,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isro’: 32)? Lihatlah bahwa zina di sini disebut dengan perbuatan yang keji dan sejelek-jelek jalan.
Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا
“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya).” (QS. Al Furqon: 68). Artinya, orang yang melakukan salah satu dosa yang disebutkan dalam ayat ini akan mendapatkan siksa dari perbuatan dosa yang ia lakukan.
Ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, dosa apa yang paling besar di sisi Allah?” Beliau bersabda, “Engkau menjadikan bagi Allah tandingan, padahal Dia-lah yang menciptakanmu.” Kemudian ia bertanya lagi, “Terus apa lagi?” Beliau bersabda, “Engkau membunuh anakmu yang dia makan bersamamu.” Kemudian ia bertanya lagi, “Terus apa lagi?” Beliau bersabda,
ثُمَّ أَنْ تُزَانِىَ بِحَلِيلَةِ جَارِكَ
“Kemudian engkau berzina dengan istri tetanggamu.” Kemudian akhirnya Allah turunkan surat Al Furqon ayat 68 di atas.[4] Di sini menunjukkan besarnya dosa zina, apalagi berzina dengan istri tetangga.
Dalam hadits lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا زَنَى الرَّجُلُ خَرَجَ مِنْهُ الإِيمَانُ كَانَ عَلَيْهِ كَالظُّلَّةِ فَإِذَا انْقَطَعَ رَجَعَ إِلَيْهِ الإِيمَانُ
“Jika seseorang itu berzina, maka iman itu keluar dari dirinya seakan-akan dirinya sedang diliputi oleh gumpalan awan (di atas kepalanya). Jika dia lepas dari zina, maka iman itu akan kembali padanya.” [5]
Meski larangan-larangan zina dalam berbagai dalil di atas begitu tegas dan ancamannya begitu berat ternyata banyak remaja yang terjebak dalam perbuatan keji tersebut. Survey, data yang diperoleh dan dipublikasikan oleh banyak kalangan semakin membuat hati miris. Kadang timbul pertanyaan setelah membacanya? Sudah benar-benar rusakkah pemuda Islam kita?
Haruskah Membuktikan True Love Lewat Making Love?
Mereka yang melakukan aktivitas pacaran, memberikan alasan bahwa seks sebelum nikah (sex before marriage) adalah bukti cinta sejati. Logika mereka, yang namanya cinta itu butuh pengorbanan. Nah, kalau wanita yang diajak pacaran, maka ia harus mau berkorban. Apa bentuk pengorbanannya? Tak lain dan tak bukan adalah mengorbankan kesucian mereka. Naudzu billah.
Tentu ini adalah alasan yang dibuat-buat untuk memperturutkan hawa nafsu rendahan. Yang benar adalah bila seseorang cinta pada seseorang pasti ia akan berusaha memberikan kebaikan kepada orang yang dicintainya dan tak rela bila kekasihnya terjerumus dalam kesengsaraan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لاَ يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ مِنَ الْخَيْرِ
“Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, seorang hamba tidak beriman (dengan iman yang sempurna) hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya mendapat kebaikan.”[6]
Bila kita benar-benar cinta kepada seorang wanita dan sebaliknya, maka kita akan bersungguh-sungguh menjaga kesuciannya karena itu adalah suatu kebaikan sebagaimana kita pula ingin memperolehnya. Tentu hal itu tidak ditempuh lewat jalan pacaran dan berhubungan seks di luar jalan yang benar. Pengorbanan yang benar dalam cinta bukan berkorban untuk maksiat, namun berkorban dengan mengerahkan seluruh kemampuan menjaga kesucian diri dan orang yang dicinta serta berusaha meraih hubungan yang dihalalkan oleh Allah. Yakinlah adikku, jika kita benar-benar tulus ingin menjaga kesucian diri dan meraih yang halal, Allah pasti akan menolong. Ingat selalu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُمُ الْمُجَاهِدُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِى يُرِيدُ الأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِى يُرِيدُ الْعَفَافَ
“Tiga orang yang berhak mendapatkan pertolongan Allah, yaitu orang yang berjihad di jalan Allah, budak mukatab yang ingin membebaskan dirinya, dan orang yang menikah yang ingin menjaga kehormatan dirinya.”[7] Oleh karenanya, jika seseorang betul-betul ingin menjaga kesucian dirinya, maka tempuhlah jalan yang benar yaitu melalui jenjang pernikahan, niscaya pertolongan Allah akan terus datang. Yakinlah!
Jadi cinta sejati dibuktikan lewat jalan yang benar yaitu lewat jalan menikah. Jika belum mampu, maka bersabarlah. Sibukkanlah diri dengan hal-hal yang baik. Jauhi pergaulan dengan lawan jenis kecuali jika darurat. Banyak memohon kepada Allah agar diberikan kemudahan untuk terlepas dari zina dan segala jalan menuju perbuatan yang keji tersebut.
Semoga Allah senantiasa memberi taufik kepada setiap muda-mudi yang membaca risalah ini.

Disusun di Panggang, Gunung Kidul, 26 Rabi’ul Awwal 1431 H (12/03/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.remajaislam.com[8]



15 Mei 2010

Hubungan Muda-Mudi Sebelum Menikah (Pacaran) dalam Tinjauan Syariat

Hubungan Muda-Mudi Sebelum Menikah (Pacaran) dalam Tinjauan Syariat

Tak kenal maka tak sayang! Itulah sebuah ungkapan yang telah populer di kehidupan kita. Bahkan, ungkapan itu memang berlaku umum, yaitu sejak seseorang mulai mengenal lingkungan hidupnya. Dalam konteks hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, istilah œtak kenal maka tak sayangâ adalah awal dari terjalinnya hubungan saling mencintai. Apa lagi, di zaman sekarang ini hubungan seperti itu sudah umum terjadi di masyarakat. Yaitu, suatu hubungan yang tidak hanya sekadar kenal, tetapi sudah berhubungan erat dan saling menyayangi. Hubungan seperti ini oleh masyarakat dikenal dengan istilah pacaran.

Istilah pacaran berasal dari kata dasar pacar yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Istilah pacaran dalam bahasa Arab disebut tahabbub. Pacaran berarti bercintaan; berkasih-kasihan, yaitu dari sebuah pasangan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.

Para ulama telah banyak membicarakan masalah ini, seperti misalnya yang terdapat dalam Fatwa Lajnah Daimah, sebuah kumpulan fatwa dari beberapa ulama. Sebelum sampai pada simpulan hukum pacaran, terlebih dahulu ditelusuri berbagai kemungkinan yang terjadi ketika sebuah pasangan muda-mudi yang bukan mahram menjalin hubungan secara intim. Dengan penelusuran seperti ini, suatu tindakan tertentu yang berkaitan dengan hubungan muda-mudi ini dapat dinilai dari sudut pandang syari. Dengan demikian, kita akan dengan mudah mengetahui suatu hubungan yang masih dapat ditoleransi oleh syariat dan yang tidak.

Apa yang terjadi dari sebuah hubungan antara seseorang dengan orang lain secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi lima: perkenalan, hubungan sahabat, jatuh cinta, hubungan intim, dan hubungan suami istri.

Perkenalan

Islam tidak melarang seseorang untuk menganal orang lain, termasuk lawan jenis yang bukan mahram. Bahkan, Islam menganjurkan kepada kita untuk bersatu, berjamaah. Karena, kekuatan Islam itu adalah di antaranya kejamaahan, bahkan Allah menciptakan manusia menjadi berbangsa-bangsa dan bersuku-suku itu untuk saling mengenal.

Allah SWT berfirman yang artinya, Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. (Al-Hujuraat: 13).

Hubungan Sahabat

Hubungan sahabat adalah hubungan sebagai kelanjutan dari sebuah hubungan yang saling mengenal. Setelah saling mengenal, seseorang berhubungan dengan orang lain bisa meningkat menjadi teman biasa atau teman dekat (sahabat). Hubungan sahabat dimulai dari saling mengenal. Hubungan saling mengenal ini jika berlangsung lama akan menciptakan sebuah hubungan yang tidak hanya saling mengenal, tetapi sudah ada rasa solidaritas yang lebih tinggi untuk saling menghormati dan bahkan saling bekerja sama. Contoh yang mungkin dapat diambil dalam hal ini adalah seperti hubungan antara Zainudin MZ dengan Lutfiah Sungkar, Neno Warisman dengan Hari Mukti, dan lain-lain. Mereka adalah pasangan lawan-lawan jenis yang saling mengenal, juga dalam diri mereka terjalin hubungan yang saling menghormati, bahkan mungkin bisa bekerja sama. Dalam Islam, hubungan semacam ini tidaklah dilarang.

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (Al-Maidah: 2).

Jatuh Cinta

Islam juga tidak melarang seseorang mencintai sesuatu, tetapi untuk tingkatan ini harus ada batasnya. Jika rasa cinta ini membawa seseorang kepada perbuatan yang melanggar syariat, berarti sudah terjerumus ke dalam larangan. Rasa cinta tadi bukan lagi dibolehkan, tetapi sudah dilarang. Perasaan cinta itu timbul karena memang dari segi zatnya atau bentuknya secara manusiawi wajar untuk dicintai. Perasaan ini adalah perasaan normal, dan setiap manusia yang normal memiliki perasaan ini. Jika memandang sesuatu yang indah, kita akan mengatakan bahwa itu memang indah. Imam Ibnu al-Jauzi berkata, Untuk pemilihan hukum dalam bab ini, kita harus katakan bahwa sesungguhnya kecintaan, kasih sayang, dan ketertarikan terhadap sesuatu yang indah dan memiliki kecocokan tidaklah merupakan hal yang tercela. Terhadap cinta yang seperti ini orang tidak akan membuangnya, kecuali orang yang berkepribadian kolot. Sedangkan cinta yang melewati batas ketertarikan dan kecintaan, maka ia akan menguasai akal dan membelokkan pemiliknya kepada perkara yang tidak sesuai dengan hikmah yang sesungguhnya, hal seperti inilah yang tercela.

Begitu juga ketika melihat wanita yang bukan mahram, jika ia wanita yang cantik dan memang indah ketika secara tidak sengaja terlihat oleh seseorang, dalam hati orang tersebut kemungkinan besar akan terbesit penilaian suatu keindahan, kecantikan terhadap wanita itu. Rasa itulah yang disebut rasa cinta, atau mencintai. Tetapi, rasa mencintai atau jatuh cinta di sini tidak berarti harus diikuti rasa memiliki. Rasa cinta di sini adalah suatu rasa spontanitas naluri alamiah yang muncul dari seorang manusia yang memang merupakan anugerah Tuhan. Seorang laki-laki berkata kepada Umar bin Khattab r.a., Wahai Amirul Mukminin, aku telah melihat seorang gadis, kemudian aku jatuh cinta kepadanya. Umar berkata, “Itu adalah termasuk sesuatu yang tidak dapat dikendalikan.(Ibnu Hazm). Dalam kitab Mauqiful Islam minal Hubb, Muhammad Ibrahim Mubarak menyimpulkan apa yang disebut cinta, Cinta adalah perasaan di luar kehendak dengan daya tarik yang kuat pada seseorang.

Sampai batas ini, syariat Islam masih memberikan toleransi, asalkan dari pandangan mata pertama yang menimbulkan penilaian indah itu tidak berlanjut kepada pandangan mata kedua. Karena, jika raca cinta ini kemudian berlanjut menjadi tidak terkendali, yaitu ingin memandang untuk yang kedua kali, hal ini sudah masuk ke wilayah larangan.

Allah SWT berfirman yang artinya, Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka  (An-Nuur: 30-31). Menundukkan pandangan yaitu menjaga pandangan, tidak dilepas begitu saja tanpa kendali sehingga dapat menelan merasakan kelezatan atas birahinya kepada lawan jenisnya yang beraksi. Pandangan yang terpelihara adalah apabila secara tidak sengaja melihat lawan jenis kemudian menahan untuk tidak berusaha melihat lagi kemudian.

Dari Jarir bin Abdullah, ia berkata, Saya bertanya kepada Rasulullah saw tentang melihat dengan mendadak. Maka jawab Nabi, Palingkanlah pandanganmu itu (HR Muslim, Abu Daud, Ahmad, dan Tirmizi).

Rasulullah saw. berpesan kepada Ali Radhiallahu 'anhu. yang artinya, “Hai Ali, Jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya! Kamu hanya boleh pada pandangan pertama, adapun berikutnya tidak boleh. (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmizi).

Ibnul Jauzi di dalam Dzamm ul Hawa menyebutkan bahwa dari Abu al-Hasan al-Wafdz, dia berkata, Ketika Abu Nashr Habib al-Najjar al-Waidz wafat di kota Basrah, dia dimimpikan berwajah bundar seperti bulan di malam purnama. Akan tetapi, ada satu noktah hitam yang ada wajahnya. Maka orang yang melihat noda hitam itu pun bertanya kepadanya, Wahai Habib, mengapa aku melihat ada noktah hitam berada di wajah Anda? Dia menjawab, Pernah pada suatu ketika aku melewati kabilah Bani Abbas. Di sana aku melihat seorang anak amrad dan aku memperhatikannya. Ketika aku telah menghadap Tuhanku, Dia berfirman, Wahai Habib? Aku menjawab, Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah. Allah berfirman, Lewatlah Kamu di atas neraka. Maka aku melewatinya dan aku ditiup sekali sehingga aku berkata, Aduh (karena sakitnya). Maka Dia memanggilku, Satu kali tiupan adalah untuk sekali pandangan. Seandainya kamu berkali-kali memandang, pasti Aku akan menambah tiupan (api neraka). Hal tersebut sebagai gambaran, bahwa hanya melihat amrad (anak muda belia yang kelihatan tampan) saja akan mengalami kesulitan yang sangat dalam di akhirat kelak.

Hubungan Intim

Jika rasa jatuh cinta ini berlanjut, yaitu menimbulkan langkah baru dan secara kebetulan pihak lawan jenis merespon dan menerima hubungan ini, terjadilah hubungan yang lebih jauh dan lebih tinggi levelnya, yaitu hubungan intim. Hubungan ini sudah tidak menghiraukan lagi rambu-rambu yang ketat, apalagi aturan. Dalam hubungan ini pasangan muda-mudi sudah bisa merasakan sebagian dari apa yang dialami pasangan suami istri. Pelaku hubungan pada tingkatan ini sudah lepas kendali. Perasan libido seksual sudah sangat mendominasi. Dorongan seksual inilah yang menjadi biang keladi hitam kelamnya hubungan tingkat ini. Bersalaman dan saling bergandeng tangan agaknya sudah menjadi pemandangan umum di kehidupan masyarakat kita, bahkan saling berciuman sudah menjadi tren pergaulan intim muda-mudi zaman sekarang. Inilah hubungan muda-mudi yang sekarang ini kita kenal dengan istilah pacaran.

Malam minggu adalah malam surga bagi pasangan muda-mudi yang menjalin hubungan pada tingkatan ini. Mereka telah memiliki istilah yang sudah terkenal: apel. Sang kekasih datang ke rumah kekasihnya. Ada kalanya apel hanya dilaksanakan di rumah saja, ada kalanya berlanjut pergi ke suatu tempat yang tidak diketahui lingkungan yang dikenalnya. Dengan begitu, mereka bebas melakukan apa saja atas dasar saling menyukai.

Al-Hakim meriwayatkan, Hati-hatilah kamu dari bicara-bicara dengan wanita, sebab tiada seorang laki-laki yang sendirian dengan wanita yang tidak ada mahramnya melainkan ingin berzina padanya.

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia berduaan dalam tempat sepi dengan seorang wanita, sedang dia dengan wanita tersebut tidak memiliki hubungan keluarga (mahram), karena yang ketiga dari mereka adalah setan.†(HR Ahmad).

Ath-Thabarani meriwayatkan, Nabi saw. bersabda yang artinya, “Awaslah kamu dari bersendirian dengan wanita, demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, tiada seorang lelaki yang bersendirian (bersembunyian) dengan wanita malainkan dimasuki oleh setan antara keduanya. Dan seorang yang berdesakkan dengan babi yang berlumuran lumpur yang basi lebih baik daripada bersentuhan bahu dengan bahu wanita yang tidak halal baginya.â€

Ibnul Jauzi di dalam Dzamm ul-Hawa menyebutkan bahwa Abu Hurairah Radhiallahu 'anhu. dan Ibn Abbas Radhiallahu 'anhu. keduanya berkata, Rasulullah saw. berkhotbah, Barang siapa yang memiliki kesempatan untuk menggauli seorang wanita atau budak wanita lantas dia melakukannya, maka Allah akan mengharamkan surga untuknya dan akan memasukkan dia ke dalam neraka. Barangsiapa yang memandang seorang wanita (yang tidak halal) baginya, maka Allah akan memenuhi kedua matanya dengan api dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam neraka. Barangsiapa yang berjabat tangan dengan seorang wanita (yang) haram (baginya) maka di hari kiamat dia akan datang dalam keadaan di belenggu tangannya di atas leher, kemudian diperintahkan untuk masuk ke dalam neraka. Dan barangsiapa yang bersenda gurau dengan seorang wanita, maka dia akan ditahan selama seribu tahun untuk setiap kata yang diucapkan di dunia. Sedangkan setiap wanita yang menuruti (kemauan) lelaki (yang) haram (untuknya), sehingga lelaki itu terus membarengi dirinya, mencium, bergaul, menggoda dan bersetubuh dengannya, maka wanitu itu juga mendapatkan dosa seperti yang diterima oleh lelaki tersebut.

Hubungan intim ini akan sampai pada puncaknya jika terjadi suatu hubungan sebagaimana layaknya yang dilakukan oleh suami istri.

Hubungan Suami-Istri

Agama Islam itu adalah agama yang tidak menentang fitrah manusia. Islam sangat sempurna di dalam memandang hal semacam ini. Manusia diciptakan oleh Allah SWT memiliki dorongan sek. Oleh karena itu, Islam menempatkan syariat pernikahan sebagai salah satu sunah nabi-Nya.

Hubungan sepasang kekasih mencapai puncak kedekatan setelah menjalin hubungan suami-istri. Dengan pernikahan, seseorang sesungguhnya telah dihalalkan untuk berbuat sesukannya terhadap istri/suaminya (dalam hal mencari kepuasan libido seksualnya: hubungan badan), asalkan saja tidak melanggar larangan yang telah diundangkan oleh syariat.

Kita tidak menyangkal bahwa di dalam kenyataan sekarang ini meskipun sepasang kekasih belum melangsungkan pernikahan, tetapi tidak jarang mereka melakukan hubungan sebagaimana layaknya hubungan suami-istri. Oleh karena itu, kita sering mendengar seorang pemudi hamil tanpa diketahui dengan jelas siapa yang menghamilinya. Bahkan, banyak orang yang melakukan aborsi (pengguguran kandungan) karena tidak sanggup menahan malu memomong bayi dari hasil perbuatan zina.

Jika suatu hubungan muda-mudi yang bukan mahram (belum menikah) sudah seperti hubungan suami istri, sudah tidak diragukan lagi bahwa hubungan ini sudah mencapai puncak kemaksiatan. Sampai hubungan pada tingkatan ini, yaitu perzinaan, banyak pihak yang dirugikan dan banyak hal telah hilang, yaitu ruginya lingkungan tempat mereka tinggal dan hilangnya harga diri dan agama bagi sepasang kekasih yang melakukan perzinaan. Selain itu, sistem nilai-nilai keagamaan di masyarakat juga ikut hancur.

Di dalam kitab Ibnu Majah diriwayatkan bahwa Ibnu Umar r.a. bertutur bahwa dirinya termasuk sepuluh orang sahabat Muhajirin yang duduk bersama rasulullah saw. Lalu, beliau mengarahkan wajahnya kepada kami dan bersabda, “Wahai segenap Muhajirin, ada lima hal yang membuat aku berlindung kepada Allah dan aku berharap kalian tidak mendapatkannya. Pertama, tidaklah perbuatan zina tampak pada suatu kaum sehingga mereka melakukan terang-terangan, melainkan mereka akan tertimpa bencana wabah dan penyakit yang tidak pernah ditimpakan kepada orang-orang sebelum mereka. Kedua, tidaklah suatu kaum mengurangi takaran dan timbangan, melainkan mereka akan tertimpa paceklik, masalah ekonomi, dan kedurjanaan penguasa. Ketiga, tidaklah suatu kaum menolak membayar zakat, melainkan mereka akan mengalami kemarau panjang. Sekiranya tidak karena binatang, niscaya mereka tidak akan diberi hujan. Keempat, tidaklah suatu kaum melakukan tipuan (ingkar janji), melainkan akan Allah utus kepada mereka musuh yang akan mengambil sebagian yang mereka miliki. kelima, tidaklah para imam (pemimpin) mereka meninggalkan (tidak mengamalkan Alquran), melainkan akan Allah jadikan permusuhan antarmereka. (HR Ibnu Majah dan Hakim).

Semalam aku melihat dua orang yang datang kepadaku. Lantas mereka berdua mengajakku keluar. Maka aku berangkat bersama keduanya. Kemudian keduanya membawaku melihat lubang (dapur) yang sempit atapnya dan luas bagian bawahnya, menyala api, dan bila meluap apinya naik orang-orang yang di dalamnya sehingga hampir keluar. Jika api itu padam, mereka kembali ke dasar. Lantas aku berkata, Apa ini? Kedua orang itu berkata, Mereka adalah orang-orang yang telah melakukan zina (Isi hadis tersebut kami ringkas redaksinya. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim).

Atha al-Khurasaniy berkata, Sesungguhnya neraka Jahanam memiliki tujuh buah pintu. Yang paling menakutkan, paling panas dan paling busuk baunya adalah pintu yang diperuntukkan bagi para pezina yang melakukan perbuatan tersebut setelah mengetahui hukumnya. (Dzamm ul-Hawa, Ibnul Jauzi).

Dengan mengetahui dampak negatif yang sangat besar ini, kita akan menyadari dan meyakini bahwa apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw. itu ternyata memang benar. Apabila seorang pemuda sudah siap untuk menikah, segerakanlah menikah. Hal ini sangat baik untuk menghindari terjadinya perbutan maksiat. Tetapi, jika belum mampu untuk menikah, orang tersebut hendaknya berpuasa. Karena, puasa itu di antaranya dapat menahan hawa nafsu.

Wahai segenap pemuda, barang siapa yang mampu memikul beban keluarga hendaklah menikah. Sesungguhnya pernikahan itu lebih dapat meredam gejolak mata dan nafsu seksual, tetapi barang siapa belum mampu, hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu benteng (penjagaan) baginya. (HR Bukhari). (Abu Annisa)

Referensi:
1. Al-Qur'an al-Karim
2. Dzamm ul-Hawa, Ibnul Jauzi
3. Mauqiful Islam Minal Hubb, Muhammad Ibrahim Mabrouk
4. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
5. Shahih Bukhari
6. Shahih Muslim
7. 1100 Hadits Terplih: Sinar Ajaran Muhammad, Dr. Muhammad Faiz Almath


Ghazwul Fikr

Pengertian ghazwul fikr dapat dilihat dari segi bahasa dan segi istilah. Ghazwul secara bahasa artinya serangan, serbuan, invasi, sedangkan fikr adalah pemikiran. Sedangkan secara istilah ghazwul fikr artinya penyerangan dengan berbagai cara terhadap pemikiran umat Islam guna merubah apa yang ada di dalamnya sehingga tidak lagi bisa mengeluarkan darinya hal-hal yang benar karena telah tercampur aduk dengan hal-hal yang bathil.

Mengapa kita harus memahami ghazwul fikr? karena ghazwul fikr itu sangat penting bagi kita kita, yaitu :

1. Mengenal musuh Islam.

2. Mengenal sarana-sarana yang dapat memukul Islam

3. Mengenal keadaan alam Islam

4. Menghindari keraguan dalam Islam.

5. Menjadikan dakwah kepada Allah dengan melihat ayat-ayat-Nya.

Adapun sasaran dari ghazwul fikr itu sendiri antara lain :

1. Menjauhkan umat Islam dari diennya / Undang-undangnya yaitu Al Quranur-karim.

2. Berusaha memasukkan orang yang kosong keislamannya kedalam aturan kafirin.

3. Memadamkan cahaya Allah.

Sedangkan metoda-metoda ghazwul fikr antara lain :

1. Membatasi supaya Islam tidak tersebar luas.
a. Tasykik (Pendangkalan/peragu-raguan), yaitu gerakan yang berupaya menciptakan keragu-raguan dan pendangkalan kaum muslimin terhadap agamanya.

b. Pencemaran/pelecehan, yaitu upaya orang kafir untuk menghilangkan kebanggaan kaum muslimin terhadap Islam dan menggambarkan Islam secara buruk.

c. Tadhlil (penyesatan), yaitu upaya orang kafir untuk menyesatkan umat Islam dengan cara halus sampai kasar.

d. Taghrib (westernisasi), yaitu gerakan yang sasarannya untuk mengeliminasi Islam, mendorong kaum muslimin untuk menerima seluruh pemikiran dan perilaku barat.
e. Selalu membuat fitnah, supaya Dien Islam menjadi buruk citranya dihadapan manusia, Islam itu terorislah, Islam itu tradisionalis dan sebagainya, mereka lakukan dengan cara membuat tandingan kepada Islam itu sendiri, seolah-olah Islamlah yang melakukannya.
2. Menyerang Islam dari dalam
a. Penyebaran sekularisme, yaitu usaha memecahkan antara agama dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

b. Penyebaran nasionalisme, yang dapat membunuh ruh ukhuwah islamiyah.

c. Pengrusakan ahlak umat Islam terutama generasi mudanya.

Ghazwul fikr dapat menyebar melalui berbagai sarana, yang dikenal dengan 3F dan 5S, dimana 3F itu terdiri dari Food (makanan), Fun (Hiburan), Fashion (Cara berpakaian). Sedangkan 5S terdiri dari Song (lagu), Sex, Sport (olahraga), Shopping (berbelanja/konsumerisme), dan science (ilmu pengetahuan).

Ghazwul fikr dapat menyebabkan berbagai hal antara lain :

1. Umat Islam menyimpang dari Al Qur’an dan As Sunnah.

2. umat Islam menjadi minder dan rendah diri

3. umat Islam menjadi ikut-ikutan terhadap budaya orang kafir

4. umat Islam menjadi tepecah belah.

5. Ummat Islam akan menjadi phobia terhadap aturan Islam itu sendiri.



1 comments:
Cakra said...
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Sejarah membuktikan, ummat Islam tdk pernah kalah dlm peperangan fisik (qital), tapi seringkali terjebak dalam tipu muslihat musuh, diantaranya adl dg apa yg anda sebut dg ghazwul-fikr ini, atw juga kita kenal dg psy-war, hegemoni, propaganda, dsb...

Dlm salah satu wawancara, syaikh Ayman Azzhawahiry (hafizhahullah) pernah menyatakan bahwa, "lebih dari setengah peperangan ini merupakan perang media…", dan tentu saja ucapan beliau ini berangkat dari pengalaman dan pemahamannya yg luas atas sejarah peperangan di masa lalu dan realitasnya hari ini di zaman modern.

Bahkan, spt kita tahu, musuhpun memberikan perhatian, upaya dan dana yg sgt besar guna melancarkan ghazwul-fikr ini terhadap ummat Islam. di sinilah arti penting optimalisasi alternatif media-media dakwah popular dalam melakukan kontra-hegemoni dan kontra-propaganda, melindungi ummat dari penyesatan opini dan pemutarbalikkan fakta, serta diseminasi fakta, berita dan analisa yg berpihak terhadap Islam dan ummat Islam. InsyaaLlah.

Semoga Allah SWT menerima upaya anda dan kita semua sbg bhakti kita kepada-Nya. amiin.

نصر من الله و فتح قريب
والسلام

01 Mei 2010

Nasihat untuk Para Aktivis

Oleh: Dr. Najih Ibrahim

Belum lama ini, tidak sedikit bermunculan aktivis dan ulama yang mulai tenar. Sebutlah seperti Syaikh Muhammad Hassan, Dr. ‘Aid Al-Qarni, Khalid Al-Jundi, ‘Amru ‘Abdul Kafi, Mahmud Al-Mishri, Thariq Sudani, ‘Amru Khalid, Khalid ‘Abdullah, Muhammad Hidayah, dan selain mereka yang telah sangat berjasa kepada Islam dalam berdakwah mengingatkan manusia terhadap Sang Pencipta, mendekatkan manusia kepada kebenaran, mendorong mereka untuk masuk Islam, dan selalu menasihatkan untuk berbuat kebaikan.

Saya sebenarnya tidak suka menggunakan istilah “aktivis baru”, karena itu akan mengurangi tingkat kredibilitas mereka. Tapi, karena mereka sudah dikenal dengan istilah tersebut dan sudah menjadi ciri bagi mereka, maka saya menggunakan istilah tersebut sekadar untuk memperjelas saja. Setiap aktivis tersebut mempunyai kelebihan yang membedakan antara satu dengan lainnya. Mereka mempunyai metode berdakwah sendiri-sendiri. Dan, metode berdakwah mereka pun diikuti oleh murid-muridnya atau para pengikutnya.

Yang membedakan para aktivis yang sekarang lagi naik daun itu dengan aktivis lainnya adalah mereka mampu mengembangkan metode dakwahnya, dan selalu memperbaruinya. Mereka mempunyai metode yang sangat bagus dan baru.

Mereka menyampaikan materi dakwah dengan cara ilmiah dan berbobot. Ini merupakan cara yang tepat, menghubungkan materi dakwah dengan kehidupan manusia, dan perhatian terhadap permasalahan yang sedang dihadapi oleh umat. Semua itu menjadikan dakwah mereka mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam jiwa manusia.

Kalaulah bukan karena munculnya para aktivis tersebut pada beberapa tahun terakhir, sungguh dakwah Islam akan beku, ketinggalan zaman, sedikit pengaruhnya, dan kurang mendapat sambutan. Kalaulah bukan karena jasa mereka, sungguh dakwah ini belum akan sampai ke berbagai belahan masyarakat yang sebelumnya tak terjangkau oleh gerakan Islam lainnya.

Meskipun saya belum pernah berjumpa dengan salah seorang ulama yang sedang naik daun tersebut, tapi saya akan mengikuti semangat mereka bila hal itu memungkinkan bagiku. Tapi, yang memprihatinkan justru serangan terus-menerus ditujukan kepada mereka, baik dari sebagian kaum muslimin, orang-orang sekuler, ataupun dari orang-orang yang beraliran kiri pada waktu yang bersamaan. Dalam menghadapi serangan dari orang-orang sekuler pada hari ini, orang-orang ateis, ataupun orang-orang yang beraliran kiri zaman dahulu, mungkin kita sudah paham. Yang paling menyakitkan adalah serangan itu berasal dari pihak kaum muslimin secara khusus ataupun dari sebagian mereka secara umum.

Ada beberapa buku yang isinya jelas-jelas mencela Syaikh ‘Amru Khalid. Ada pula beberapa kaset yang menyerang mereka tanpa memperhatikan lagi etika dalam perselisihan. Bahkan, saya pernah membaca catatan seorang lelaki dalam makalah terakhirnya yang berupaya memerangi mereka secara anarkis dalam salah satu situs internet.

Dalam masalah ini, yang ingin saya katakan kepada para aktivis muslim umumnya dan terkhusus kepada orang-orang yang suka mencela, bahwa tidak ada seorang aktivis, berilmu, murabby, orang bijak, ataupun lainnya yang terlepas dari cacat ataupun aib. Hendaknya para aktivis berumalah dengan menggunakan kaedah, “Bila airnya sudah mencapai dua qullah, maka tidak najis.”

Mereka ibarat sungai mengalir dari sumber kebaikan dan keberkahan. Bila dakwah mereka sedikit ada cacatnya dan salahnya atau tergelincir, maka tidak akan membahayakan. Dengan izin Allah, sungai kebaikan mereka tidak akan kotor karena kesalahannya, dan aliran dakwah mereka tidak akan membahayakan, insya Allah. Tapi, dakwah mereka justru akan dinaungi kebaikan dan keberkahan selama mereka ikhlas karena Allah. Cahaya kerasulan dan kenabian akan menjadi petunjuk di bumi. Saya sendiri telah menulis buku secara terperinci dengan judul Apabila Airnya Mencapai Dua Qullah, maka Tidak Najis.

Saya berharap kepada kaum muslimin untuk membaca bab ini secara khusus dan keseluruhan buku ini secara umum. Karena, membaca dan mengaplikasikannya akan menghindarkan harakah Islamiah dan kaum muslimin secara umum dari menyebut-nyebut kekurangan mereka, menyakiti mereka, dan mencela mereka terus-menerus. Di samping itu, juga menghindari membahas kesalahan-kesalahan mereka dari mengabaikan kebaikan dan keutamaan mereka, dan tidak menghormati dan menghargai keutamaan mereka.

Hadits yang berbunyi: “Apabila airnya telah mencampai dua qullah, maka tidak najis” (HR Bukhari no. 3598) pada dasarnya digunakan dalam masalah fikih, pada bab thaharah (bersuci). Walaupun demikian, kaedah tersebut merupakan kaedah paling penting bagi para da’i dan murabby (pendidik) untuk bermuamalah dengan makhluk. Artinya, bila manusia mempunyai banyak kebaikan dan keutamaan, maka kesalahan dan cacat yang kecil tidak menghapus kebaikannya. Barang siapa kebaikannya melebihi kejelekannya, keutamaannya lebih banyak daripada kekurangannya, maka kekurangannya dimaafkan, karena ia mempunyai berbagai keutamaan, dan keburukannya akan terkubur oleh lautan kebaikannya.

Pada bab ini terdapat kisah seorang sahabat, Hatib bin Abi Balta’ah, yang sangat menarik. Ketika amalan kebaikan hijrahnya dan keikutsertaannya dalam Perang Badar bersama Rasulullah saw. lebih berarti daripada kesalahannya ketika membocorkan rencana Rasulullah dan para pasukannya untuk menaklukkan kota Mekah. Apa yang dikatakan Rasulullah kepada Umar ketika ia berkeinginan membunuh sahabat Hatib bin Balta’ah karena telah membocorkan rencana tersebut? “Wahai Umar, tahukah kamu mengenai pahala orang yang mengikuti Perang Badar? Sungguh Allah telah berfirman kepada orang-orang yang ikut Perang Badar, ‘Berbuatlah sesuka kalian, sungguh Aku telah mengampuni kalian’.” (HR Bukhari no. 4066).

Sahabat Utsman bin Affan pernah tidak ikut dalam Perang Uhud. Perbuatan itu sebenarnya tercela. Tapi, apa pengaruh perbuatan itu terhadap kebaikannya yang begitu besar? Beliau adalah seorang yang diridhai oleh Allah dan termasuk orang yang pertama kali masuk Islam, suaminya kedua anak Rasulullah saw., Ruqayah dan Ummu Kultsum, dan seorang yang malaikat malu dengannya. Beliau juga yang meluaskan masjid Nabawi dengan hartanya sendiri, membeli sumur dan diberikan kepada kaum muslimin, dan beliau juga termasuk yang sangat besar andilnya dalam mempersiapkan tentara ‘Usrah. Sehingga, pada hari itu Rasulullah saw. bersabda, “Apa yang dilakukan Utsman sesudah hari ini tidak akan mencelakainya.” (HR Tirmidzi no. 3634). Maknanya, kebaikannya yang begitu besar tidak akan ternodai oleh kesalahannya yang sedikit setelah hari itu. Kalaulah sekelompok orang dari Mesir dan Irak yang memberontak kepada Utsman mengetahui makna yang agung ini, sungguh mereka tidak akan melakukannya. Bagaimana mereka akan membunuhnya, sedang beliau adalah seorang yang memberi air minum kepada ribuan para sahabat dari sumur miliknya. Sungguh mereka adalah orang-orang yang bodoh lagi penghianat. Innalillahi wa innalillahi raji’un.

Perhatikan pula kisah Khalid bin Walid. Beliau telah salah membunuh Bani Jadzimah, sedang mereka adalah kaum muslimin. Bahkan, ketika itu Rasulullah saw. pun sampai berlepas diri dari perbuatannya tersebut. Tapi, kebaikannya pun menghapuskan kesalahannya. Beliau telah menghancurkan kelompok Musailamah Al-Kadzab dan orang-orang yang murtad. Kalaulah beliau tidak memiliki selain kebaikan ini, maka itu sudah cukup baginya. Karena jasanyalah, sebagian besar wilayah Arab dapat direbut kembali. Beliaulah yang telah menaklukan sebagian besar wilayah Syam dan Persia. Dan, berapa banyak bendera tauhid yang telah menyertai jihadnya?

Pengiyasan yang sama disebutkan oleh Saifuddin Qathaz dan Dzahir Bibarsi, kiyasan yang terangkum dalam untaian kata yang sangat indah: “Bila orang yang kita cintai berbuat satu kesalahan, maka datang seribu kebaikannya sebagai syafa’at.”

Dalam menghukumi manusia, terkhusus para ulama, maka yang paling adil adalah orang yang mengaplikasikan kaidah Imam Ibnu Rajab Al-Hambali, “Orang yang munshif (adil) adalah orang yang memaafkan kesalahan kecil seseorang karena ia mempunyai banyak kebaikan.” Atau, bisa juga kita menggunakan kaidah syar’i dalam masalah fikih bahwa dalam menetapkan hukum adalah berdasarkan kebanyakan, tidak yang sedikit.

Oleh karena itu, bagi para aktivis yang sering mencela dan menyalahkan para ulama yang sedang naik daun tersebut ataupun ulama lainnya, hendaknya mereka mengingat perkataan sayyid (tuannya) para tabi’in, Sa’id bin Musayyib, “Tidaklah ada orang yang memiliki jabatan, kemuliaan, dan berilmu, kecuali pasti punya aib. Tapi, bila kebaikan dan keutamaannya lebih banyak daripada kekurangannya, maka kekurangannya dimaafkan karena keutamaannya.”

Adapun sekarang ini banyak aktivis yang mencela Syaikh Qardhawi dan Asy-Sya’rawi. Bahkan, mereka menulis berbagai buku yang isinya mencela para ulama. Sementara, kelompok lain ada yang mencela Syaikh Ibnu Baz rhm. dan Ibnu Utsaimin rhm. Padahal, mereka semua adalah para ulama, yang mengkhidmatkan hidupnya untuk Islam sejak tumbuhnya kuku-kuku mereka sampai akhir hayatnya.

Wahai pengikut sunnah, tidakkah kamu melihat orang Syi’ah, bagaimana mereka menghormati ulama mereka? Yang kita inginkan sebagai pengikut sunnah bukan untuk mengkultuskan mereka atau meyakini kemaksuman mereka seperti keyakinan Syi’ah. Tapi, yang kita inginkan hanyalah bagaimana etika kita terhadap para ulama yang hanya memiliki sedikit kesalahan.

Demi Allah, Qardhawi, Sya’rawi, ‘Abdul Halim Mahmud, Abu Zahrah, Al-Buthy, Dr. Salim Al-‘Awwa, Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, dan Abdullah bin bayyah, sungguh mereka mempunyai kredibilitas dan kelebihan masing-masing. Lalu, apakah mereka yang suka mencela tidak malu dengan hal ini?

Saya tidak mengesampingkan akan adanya berbagai surat kabar, majalah, dan orang-orang sekuler yang selalu menyerang mereka siang dan malam. Tapi, mereka tidak pernah berhenti dalam berdakwah. Hal itu, karena mereka menginginkan supaya dakwah Islam ini maju dan berkembang. Setiap ulama atau aktivis pasti ada yang sukses dan ada pula yang gagal.

Ada pula ulama yang sudah banyak melakukan kebaikan, tapi tetap saja manusia di sekelilingnya memusuhinya. Hal ini terjadi pada masa Syaikh Asy-Sya’rawi. Beliau telah banyak berbuat baik dan telah membantu mengentaskan berbagai kemiskinan. Tapi, apa yang diperbuat oleh mereka? Sesudah itu, mereka kembali memusuhinya. Makalah ini tidak aku maksudkan untuk mereka, tapi aku maksudkan untuk para genarasi muda muslim, para aktivis yang aktif di berbagai gerakan Islam dan umumnya untuk kaum muslimin yang mengikuti sunnah. Saya berharap kepada mereka untuk selalu menyemangati dan membantu para ulama tersebut.

Sesungguhnya sudah menjadi hal yang wajar bila kita menyelisihi pendapat mereka pada beberapa hal tertentu. Contohnya antara Syaikh Qardhawi dengan Syaikh ‘Amru Khalid. Keduanya berbeda pendapat dalam masalah akan wajibnya pergi ke Denmark untuk memprotes pemuatan karikatur yang menghina Nabi Muhammad saw. Dan, menjadi kewajiban kita juga untuk mendiskusikan pendapat mereka dengan etika yang benar dan tetap menghormati mereka. Tapi, perlu kita ketahui bahwa bukan menjadi kewajiban kita untuk mencela pribadi mereka atau ragu terhadap niatan mereka, atau bahkan berburuk sangka kepada mereka. Karena, hal itu bagi orang awam bukanlah bagian dari akhlak islami, terlebih bagi para aktivis dan ulama.

Mulai hari ini, saya mengajak para aktivis secara khusus, dan para pengikut sunnah secara umum, untuk memulai dengan lembaran baru. Menjaga lisan kita dari mencela orang-orang yang berbuat kebaikan dan banyak memiliki keutamaan, sekalipun telah tampak jelas kesalahan mereka. Tapi, kebanyakan mereka berbuat salah karena setelah berijtihad, bukan karena hawa nafsu ataupun karena pembangkangan. Kalaulah kita menasihati mereka dengan sembunyi-sembunyi, dengan surat, atau dengan email khusus, maka sungguh itu lebih baik bagi kita dan mereka.

Kalaulah kita mendo’akan mereka dengan kebaikan, petunjuk, dan kebenaran, seperti halnya mereka telah mendo’akan kita, tentulah itu lebih baik bagi kita dan mereka. Tapi, kenapa kita tidak mencintai mereka sebagaimana mereka mencintai kita? Kenapa kita justru berusaha menjatuhkan martabat mereka? Padahal, kita itu orang yang sedikit kebaikannya. Adapun mereka begitu besar kebaikannya dalam berdakwah kepada Allah.

Adapun terhadap musuh-musuh Islam, seperti orang-orang sekuler, orang-orang kapitalis, atau lainnya, itu pembahasan lain. Di sini saya tidak membahas mereka. Tapi, yang paling utama saya perhatikan adalah mereka yang kita harapkan dapat berbuat baik untuk agama ini. Semoga Allah memberi taufik bagi seluruh aktivis dan ulama yang menyerukan kepada hidayah Allah dan kebenaran.

Sumber: Diadaptasi dari “Al-Harakah Al-Islamiyah wad Du’at Al-Judud”, Dr. Najih Ibrahim (Situs Almokhtsar, 10 Maret 2008)
Selamat Datang di BLOG ALZAN